Selasa, 26 Januari 2010

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB)
Oleh: Gusticha

Seperti yang kita ketahui bahwa Pajak sebagai sumber penerimaan negara yang sangat penting bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan nasional. Pasal 33 ayat 3 Amandemen UUD 1945 menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Tanah sebagai bagian dari bumi yang merupakan karunia dari tuhan mempunyai fungsi social, dapat memenuhi kebutuhan dasar, lahan usaha atau alat investasi yang menguntungkan. Sedangkan bangunan juga memberikan manfaat ekonomi kepada pemiliknya.
Oleh karena itu, sudah sewajarnya bila pemilik atau yang memperoleh Hak atas Tanah dan Bangunan menyerahkan sebagian nilai ekonomis yang diperoleh kepada pemerintah melalui pembayaran pajak yang disebut Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Pemungutan atau pengenaannya harus tetap memperhatikan aspek keadilan bagi masyarakat golongan ekonomi lemah dan masyarakat berpenghasilan rendah yang diwujudkan dalam perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang tidak dikenakan pajak.
Untuk lebih jelasnya maka penulis akan menjelaskan hal-hal penting yang terkait tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dalam pembahasan berikutnya..

A. DASAR HUKUM
Dasar hukum pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor Tahun 2000 dan beberapa aturan pelaksanaannya.

B. PENGERTIAN DASAR
Pengertian dasar yang berkaitan dengan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) menurut pasal 1 UU No. 20 Tahun 2000 adalah sebagai berikut:
1. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan.
2. Perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.
3. Hak atas Tanah dan Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak atas pengelolaan, beserta bangunan diatasnya sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agrarian, UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan peraundang-undangan lainnya.
4. Surat Tagihan Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan adalah Surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda .
5. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB) adalah surat keputusan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar.
6. Surat ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT) adalah surat keputusan yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
7. Surat ketetapan Bea perolehan Hak atas tanah dan bangunan lebih bayar (SKBLB) adalah surst keputusan yangn menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah pajak yang telah dibayar lebih besar dari pada pajak yang seharusnnya terutang.
8. Surat ketetapan Bea perolehan Hak atas tanah dan bangunan Nihil (SKBN) adalah surat keputusan yang menentukan jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah pajak yang dibayar.
9. Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (SSB) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yangn terutanng ke kas Negara atau tempat lain yang ditetapkan oleh Menteri keuangan dan sekaligus untuk melaporkan data perolehan tanah dan atau bangunan.
10. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan untuk membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung dan atau kekeliruan dalam penerapan peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil, atau Surat Tagihan Hak atas Tanah dan Bangunan.
11. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan keberatan terhadap Ketetapan Bea Perolehan Hak atas tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil yang di ajukan oleh wajib pajak.
12. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh wajib pajak.

C. SUBJEK PAJAK
Yang menjadi Subyek Pajak atas Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan menurut pasal 4 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2000 adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan. Oleh karena itu, Subjek Pajak di bebani kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak menurut Undang-Undang BPHTB.
D. OBJEK PAJAK
Dalam pasal 1 UU No. 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, yang menjadi objek pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang dapat berupa :
1. Tanah termasuk tanaman di atasnya.
2. Tanah dan bangunan
3. bangunan
Sedangkan dalam Pasal 2 UU No. 20 Tahun 2000, yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut meliputi:
 Pemindahan hak karena:
1) Jual beli
2) Tukar menukar
3) Hibah
4) Hibah wasiat adalah suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian Hak Atas Tanah dan atau Bangunan kepada orang pribadi atau badan hokum tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia.
5) Waris
6) Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah pengalihan Hak atas Tanah dan atau Bangunan dari orang pribadi atau badan kepada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya sebagai penyertaan modal pada Perseroan Terbatas atau badan hukkum lainnya tersebut.
7) Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan atau bangunan oleh pribadi atau badan kepada sesame pemegang hak bersama.
8) Penunjukkan pembeli dalam lelang, yaitu penetapan pemenang lelang oleh pejabat lelang sebagaimana yang tercantum dalam risalah lelang.
9) Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai ketentuan hokum tetap. Sebagai pelaksanaan dari putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan hokum yang tetap, terjadi peralihan hak dari orang pribadi atau badan hokum sebagai salah satu pihak kepada pihak yang ditentukan dalam putusan hakim tersebut.
10) Penggabungan usaha, adalah penggabungan dari dua badan usaha atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha dan melekuidasi badan-badan usaha yang tergabung.
11) Peleburan usaha adalah penggabungan dari dua badan usaha dengan mendirikan badan usaha baru dan melekuidasi badan-badan usaha yang tergabung.
12) Pemekaran usaha. Pemekaran usaha adalah pemisahan suatu badan usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan passive kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa melikuidasi badan usaha lama.
13) Hadiah adalah suatu perbuatan hokum berupa penyerahan Hak atas Tanah dan atau Bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan hokum kepada penerima hadiah. Akta yang dibuat dapat berupa akta hibah.


 Pemberian Hak baru karena:
1. Kelanjutan pelepasan hak. Pengertian pemberian hak baru karena kelanjutan pelepasan hak adalah pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan hokum dari Negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak.
2. Di luar pelepasan hak. Pengertian pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hokum dari Negara menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

HAK-HAK ATAS TANAH
Konsep hak-hak atas tanah yang terdapat dalam Hukum Agraria Nasional membagi hak-hak atas tanah dalam dua bentuk, yaitu:
- Hak-hak atas tanah yang bersifat primer yaitu hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki atau dikuasai secara langsung oleh seseorang atau badan hukum yang mempunyai waktu lama dan dapat dipindahgunakan kepada orang lain atau ahli warisnya.
- Hak-hak atas tanah yang bersifat skunder adalah hak-hak atas tanah yang bersifat sementara karena hak-hak tersebut dinikmati dalam waktu terbatas dan hak-hak tersebut dimiliki orang lain seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak menyewa atas tanah pertanian.
Sebagaimana Pengertian Hak atas Tanah yang dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Yang termasuk dalam kategori hak atas tanah tersebut adalah :
1. Hak Milik
Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat, dan terpenuh yan dapat dimiliki orang pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah. Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Pasal 27 UUPA Tahun 60 menyatakan bahwa Hak Milik dapat terhapus apabila:
a) Tanahnya jatuh kepada Negara
• Karena pencabutan hak berdasarkan pasal 18 UUPA.
• Karena penyerahan dengan sukarela oleh pihak pemiliknya.
• Karena ditelantarkan.
b) Tanahnya musnah,
2. Hak Guna usaha
Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dengan jangka waktu yang telah ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku. Subjek Hak Guna Usaha Ini adalah WNI dan Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Spekulasi Hak Guna Usaha ini tidak bersifat terkuat dan terpenuh yand berarti bahwa daya berlakunya terbatas walaupun dapat beralih dan dapat dialihkan kepada pihak lain. Tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha adalah:
• Tanah Negara yang merupakan kawasan hutan, makapemberian HGU dapat dilakukan setelah tanah yang bersangkutan setelah tanah yang bersangkutan dikeluarkan dari statusnya sebagai kawasan hutan.
• Pemberian HGUatas tanah yang telah dikuasai dengan hak tertentu sesuai ketentuan yang berlaku, pelaksanaan ketentuan HGU tersebut baru dapat dilaksanakan setelah terselesainya pelepasan hak tersebut sesuai dengan tata cara yang diatur dalam peraturan perundang-undanagnyang berlaku.
• Dalam hal diatas tanah yang akan diberikan dengan HGU itu terdapat tanaman ata bangunan milik pihak lain yang keberadaannya berdasarkan alas hak yang sah maka pemilik tanaman atau bangunan tersebut diberi ganti kerugian yang dibebankan kepada pemegang HGU baru.
Hak Guna Usaha mempunyai batas berlakunya, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 17 PP No. 40 Tahun 1996. Hak Guna terhapus karena:
• Jangka waktu berakhir sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya.
• Dihentikan atau dibatalkan oleh pejabat yang berwenang sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuai syarat tidak terpenuhi.
• Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir.
• Dicabut untuk kepentngan umum sesuai UU
• Ditelantarkan
• Tanahnya musnah
3. Hak Guna Bangunan
Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu yang ditetapkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-pokok Agraria. Begitu pentingnya Hak Guna Bangunan, maka pemerintah mengaturnya dalam Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996. Pengaturan ini seiring dengan pesatnya pembangunan perumahan baik yang dibangun oleh pemerintah maupun pihak swasta. Salah satu yang paling mendasar dalam pemberian Hak Guna Bangunan adalah menyangut adanya kepastian hukum mengenai jangka waktu pemberiannya.
Hak Guna Bangunan sama halnya denagn Hak Guna Usaha, memiliki jangka waktu sebagai masa akhir pemilikan hak atau masa hapusnya hak tersebut, hal ini dinyatakan dalam pasal 35 PP No. 40 1996. Adapun sebab hapusnya Hak Guna Bangunan sama dengan sebab dihapusnya Hak Guna Usaha.
4. Hak Pakai Atas Tanah
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanian pengolahan tanah, segala sesuatu sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemberian Hak Pakai atas tanah tidak sama dengan pemberian hak atas tanah bagi Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan. Hal ini sesuai dengan Pasal 39 PP No. 40 Tahun 1996 diatur mengenai subjek yang dapat mempunyai hak Pakai atas tanah yaitu:
• Warga Negara Indonesia
• Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
• Departeman, lembaga Pemerintahan Nondeparteman dan Pemerintahan Daerah.
• Badan-badan keagamaan dan social.
• Orang asing yang berkedudukan di Indonesia.
• Badan hukum asing yang mempunya perwakilan di Insonesia.
• Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Internasional.
Dalam Pasal 45 PP No. 40 Tahun 1996 jangka waktu hak pakai adalah:
- Hak pakai diberikan waktu paling lama dua puluh tahun dan dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama dua puluh tahun atau diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untik keperluan tertentu. Setelah jangka waktu pakai atau perpanjangan habis, maka dapat diberikan pembaruan Hak Pakai atas tanah yang sama kepada pemegang hak.
- Hak pakai yang diberikan untuk jangka waktu yang ditentukan selama dipergunakan untuk keperluan tertentu diberikan kepada: (1) departemen, lembaga pemerintah non departeman dan pemerintah daerah (2) perwakilan Negara asing dan perwakilan Internasional (3) badan keagamaan dan badan social.
Sperti yang telah diketahui bahwa Hak Pakai dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain, peralihan Hak Pakai terjadi karena:
- Jual beli
- Tukar menukar
- Penyertaan modal
- Hibah
- Warisan.
Adapun untuk sebab hapusnya Hak Pakai sama halnya dengan sebab hapusnya Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan yang telah di jelaskan sebelumnya.
5. Hak Milik atas Satuan Rumah Susun
Maksudnya adalah hak milik yang bersifat perseorangan dan terpisah. Hak milikatas satuan rumah susun meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan.
6. Hak Pengolahan
Hak Pengolahan adalah hak yang menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain, berupa perencanaan peruntukan dan penggunaaan tanah, penggunaan tanah untuk kepeluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerjasama dengan pihak ketiga.

 Objek pajak yang tidak dikenakan BPHTB
Menurut pasal 3 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2000, Obyek pajak BPHTB yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah objek pajak yang diperoleh:
1. Perwakilan diplomatik, konsulat asas perlakuan timbal balik.
2. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum.
3. Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan keputusan Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut..
4. Orang pribadi atau badan karena konversi hak dan perbuatan hukum lainnya dengan tidak adanya perubahan nama.
5. karena wakaf.
6. Objek pajak tertentu yang diperoleh karena warisan, hibah wasiat dan pemberian hak pengelolaan pengenaan pajaknya di atur dengan peraturan pemerintah.
7. Untuk digunakan kepentingan ibadah.

E. TARIF PAJAK, DASAR PENGENAAN PAJAK DAN NILAI PEROLEHAN OBJEK PAJAK TIDAK KENA PAJAK (NPOPTKP)
1. Tarif Pajak
Besarnya tarif pajak ditetapkan sebesar 5%

2. Dasar Pengenaan Pajak
Yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP). NPOP menurut ketentuan pasal 6 ayat 2, 3 dan 4 UU No.21 Tahun 2000 di atur sebagai berikut:
 Harga transaksi dalam hal:
1. Jual beli
2. Penunjukan pembeli dalam lelang.
 Nilai pasar objek pajak adalah harga rata-rata dari transaksi jual beli secara wajar yang terjadi di sekitar letak Tanah dan Bangunan. Nilai pasar dipakai dalam hal:
1. Tukar-menukar.
2. Hibah.
3. Pemasukan dalanm perseroan atau badan hukum lainnya.
4. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan hak.
5. Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
6. Pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak.
7. Penggabungan usaha.
8. Peleburan usaha.
9. Pemekaran usaha.
10. Hadiah.
 Nilai Jual Objek Pajak PBB (NJOP PBB)
a) Apabila besarnya NPOP tidak diketahui atau lebih rendah dari pada NJOP yang digunakan dalam pengenaan dalam PBB pada tahun terjadinya perolehan, maka Dasar Pengenaan Pajak yang dipakai yaitu Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (NJOP PBB).
b) Apabila NJOP belum ditetapkan maka Menteri Keuangan mempunyai wewenang menetapkan NJOP PBB.

Pengenaan BPHTB
 Pengenaan BPHTB karena waris dan hibah waris BPHTB yang terutang atas perolehan hak karena waris dan hibah wasiat adalah sebesar 50% dari BPHTB yang seharusnya terutang.
 Pengenaaan BPHTB karena pemberian Hak Pengelolaan. Besarnya BPHTB karena pemberian Hak Pengelolaan adalah sebagai berikut:
a) 0% (nol persen) dan BPHTB yang seharusnya terutang dalam hal penerima Hak Pengelolaan adalah Departeman, Lembaga Pemerintah Non Departeman, Pemerintah Daerah Propinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Lembaga Pemerintah lainnya dan Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perum Perumnas)
b) 50% (lima puluh persen) dari BPHTB yang seharusnya terutang dalam hal penerima Hak Pengelolaan selain dimaksud diatas.

3. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)
Yang dimaksud dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) adalah besarnya nilai perolehan Objek Pajak maksimum yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional dalam hal ini ditetapkan oleh kakanwil dengan pertimbangan pemda dan perekonomian daerah yaitu:
• Paling banyak Rp. 300.000.000 untuk waris atau hibah bagi orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan.
• Paling banyak Rp. 60.000.000 selain perolehan hak dari waris dan hibah wasiat.
Dalam hal ketetapan NPOPTKP secara regional, dimungkinkan setiap Kabupaten/Kota mempunyai NPOPTKP yang berbeda-beda. Besarnya NPOPTKP ditetapkan oleh Menteri Keuangan untuk setiap Kabupaten /Kota dengan memperhatikan usulan pemerintah Daerah. Menurut penjelasan pasal 7 ayat 2, besarnya NPOPTKP dapat diubah dengan mempertimbangkan perkembangan perekonomian regional.

Penghitungan BPHTB
Cara menghitung Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak
• NPOP Kena Pajak = NPOP – NPOPTKP
Pajak terutang dihutang dengan cara
• BPHTB terutang = 5 % x NPOP Kena Pajak;
Sebagai contoh:
Wajib Pajak membeli tanah dan bangunan dengan ketentuan sebagai berikut:

Nilai Perolehan Objek Pajak ….


Rp35.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ……………… Rp30.000.000,00 (-)
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak Rp 5.000.000,00
Pajak yang terutang = 5% x Rp5.000.000,00 = Rp250.000,00

F. SAAT DAN TEMPAT PAJAK TERUTANG

Saat yang menentukan pajak terutang (harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan) atas perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan untuk :
1. Jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
2. Tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
3. Hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
4. waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan;
5. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
6. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
7. putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
8. hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan;
9. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
10. pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
11. penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
12. peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta;
13. pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
14. hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta.

Tempat pajak terutang yaitu di wilayah:
1) Kabupaten Daerah Tingkat II
2) Kotamadya Daerah Tingkat II
3) Propinsi Daerah Tingkat I untuk kota yang meliputi letak tanah dan atau bangunan.

G. PEMBAYARAN, PENETAPAN DAN PENAGIHAN
Pembayaran BPHTB
Setiap Wajib Pajak mempunyai kewajiban membayar pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak. Pada dasarnya sistem pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah self assesment. Wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan melaporkannya tanpa mendasarkan terbitnya surat ketetapan pajak.
Pembayaran Pajak yang terutang di bayar di Kas Negara melalui Bank pemerintah (BUMN atau BUMD) atau PT Pos Indonesia atau tempat pembayara lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (SSB).

Penepatan BPHTB
1) Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak dan Tanah (SKBKB)
Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB) apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang kurang dibayar. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKB ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 bulan, dihitung mulai saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKBKB.

Contoh penghitungan SKBKB:
“X” memperoleh tanah dan bangunan pada tanggal 29 Maret 2009.
Nilai Perolehan Objek Pajak Rp210.000.000
Nilai Perolehan Objek Pajak tidak Kena Pajak 30.000.000
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak Rp180.000.000
BPTHP yang terutang = Rp180.000.000 x 5%
= Rp 9.000.000
Berdasarkan hasil pemeriksaan, ternyata ditemukan data yang belum lengkap yang menunjukkan bahwa NPOP sebenarnya adalah Rp280.000.000. oleh karena itu diterbitkan SKBKB pada tanggal 30 Desember 2009. Besarnya BPHTB yang terutang adalah sbb:
Nilai Perolehan Objek Pajak Rp280.000.000
Nilai Perolehan Objek Pajak tidak Kena Pajak 30.000.000 (-)
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak Rp250.000.000

BPTHP yang seharusnya terutang = Rp150.000.000 x 5% Rp12.500.000
BPHTB yang telah dibayar 9.000.000 (-)
BPHTB yang kurang dibayar Rp 3.500.000

Sanksi administrasi berupa dari 29 Maret 2009 sampai 30 Desember 2009 = 10 bulan x 2% x Rp3.500.000= Rp700.000 jadi jumlah yang harus dibayar menurut SKBKB = Rp3.500.000 + Rp700.000 = Rp4.200.000

2) Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SKBKBT)
Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT) apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah diterbitkannya SKBKB. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKBT ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100 % (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut, kecuali wajib pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.

Contoh penghitungan SKBKBT diasumsikan dengan contoh SKBKB:
Pada tahun 2012, dari pemeriksaan atau keterangan lain diperoleh data baru bahwa nilai perolehan objek pajak ternyata adalah Rp330.000.000. maka BPHTB yang terutang adalah:
Nilai Perolehan Objek Pajak Rp330.000.000
Nilai Perolehan Objek Pajak tidak Kena Pajak 30.000.000 (-)
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak Rp300.000.000

BPTHP yang seharusnya terutang = Rp300.000.000 x 5% Rp15.000.000
BPHTB yang telah dibayar 12.500.000 (-)
BPHTB yang kurang dibayar Rp 2.500.000

Sanksi administrasi kenaikan = 100% x Rp2.500.000= Rp2.500.000.
Jadi jumlah yang harus dibayar menurut SKBKBT = Rp2.500.000 + Rp2.500.000 = Rp5.000.000
Penagihan PBHTB
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan BPHTB apabila Pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar. Dari hasil pemeriksaan SSB terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung maka wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda atau bunga sebesar 2% sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 bulan sejak saat terutangnya pajak.
Pasal 14 UU BPHTB menyatakan bahwa Sarana administrasi bagi Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan penagihan pajak adalah Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan maupun Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah. Pajak yang terutang tersebut harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak diterima oleh Wajib Pajak.
Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dipersamakan kekuatan hukumnya dengan surat ketetapan pajak, sehingga penagihannya dapat dilanjutkan dengan penerbitan Surat Paksa yaitu surat perintah membayar pajak dan tagihan yang berkaitan dengan pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pajak terutang yang digunakan sebagai dasar penagihan harus dilunasi dalan jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak diterima wajib pajak.
Contoh penghitungan:
“X” memperoleh tanah dan bangunan pada tanggal 18 Juni 2003. Berdasarkan pemeriksaan SSB yang di sampaikan X , ternyata terdapat salah hitung yang menyebabkan pajak kurang bayar sebesar Rp1.500.000,00. Atas kekurangan pajak tersebut maka diterbitkan STB pada tanggal 23 September 2003 dengan penghitungan sbb:
Kekurangan bayar Rp1.500.000,00
Bunga 4 x 2% x Rp1.500.000,00 Rp 120.000,00 (+)
Jumlah Rp1.620.000,00
Maka jumlah yang harus dibayar dalam STB adalah Rp1.620.000,00

H. PEMBAGIAN HASIL PENERIMAAN PAJAK
Menurut ketentuan Pasal 23 UU No. 20 Tahun 2000, penerimaan Negara dari BPHTB dibagi untuk Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan imbalan sebagai berikut:
1. 20% untuk Pemerintah Pusat.
2. 80% untuk Pemerintah Daerah, adapun jumlah 80% Pemerintah Daerah dirinci:
a) 16% untuk Daerha Propinsi yang bersangkutan dan disalurkan melalui rekening Kas Daerah Propinsi.
b) 64% untuk Daerah Kabupaten/Kota penghasil dan disalurkan melalui rekening Kas Daerah Kabupaten/Kota.
Khusus untuk Propinsi Nangroe Aceh Darussalam, jumlah 80% untuk Pemerintah Daerah dirinci:
1. 16% untuk Daerah Propinsi, yang dibagi dengan imbangan:
a) 30% untuk biaya pendidikan di Aceh dan disalurkan melalui rekening khusus dana pendidikan.
b) 70% untuk Daerah Propinsi dan disalurkan melalui rekening Kas Daerah Propinsi.
2. 64% untuk Daerah Kabupaten/Kota penghasil yang dibagi dengan imbangan:
a) 30% untuk biaya pndidikan di Propinsi Aceh dan disalurkan melalui rekening khusus dana pendidikan.
b) 70% untuk Daerah Propinsi dan disalurkan melalui rekening Kas Daerah Propinsi.

I. KEBERATAN, BANDING DAN PENGURANGAN BPHTB
Wajib pajak dapat mengajukan keberatan atau permohonan banding. Banding hanya diajukan kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Permohonan banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas dalam jangka waktu paling lama 3 bulan sejak keputusan keberatan diterima dan dilampiri surat keputusan tersebut.
Keberatan BPHTB
Ketentuan tentang keberatan BPHTB menurut Pasal 16 dan 17 UU No. 20 Tahun 2000 adalah sebagai berikut:
1. Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu :
a. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar;
b. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan;
c. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar;
d. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil.
2. Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang menurut perhitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang jelas.
3. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan atau Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar atau Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil, kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya.
4. Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan (poin 2 dan 3) tidak dianggap sebagai Surat Keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.
5. Tanda penerimaan Surat Keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat menjadi tanda bukti penerimaan Surat Keberatan tersebut bagi kepentingan Wajib Pajak.
6. Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak.
7. Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.
Dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima, Direktur Jenderal Pajak harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan. Apabila dalam jangka waktu tersebut telah lewat, Direktur Jenderal belum menerbitkan surat keputusan, maka keberatan yang diajukan dianggap dikabulkan. Namun demikian sebelum surat keputusan diterbitkan, wajib pajak masih dapat menyampaikan alas an tambahan atau penjelasan tertulis diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis.
Keputusan Keberatan dapat berupa :
• Menerima seluruhnya, apabila data/bukti-bukti yang dilampirkan dalam pengajuan keberatan dan/atau diperoleh dalam pemeriksaan terbukti kebenarannya.
• Menerima sebagian, apabila data/bukti-bukti yang dilampirkan dalam pengajuan keberatan dan/atau diperoleh dalam pemeriksaan sebagian terbukti kebenarannya.
• Menolak, apabila data/bukti-bukti yang dilampirkan dalam pengajuan keberatan dan/atau diperoleh dalam pemeriksaan tidak terbukti kebenarannya.
• Menambah jumlah pajaknya, apabila data/bukti-bukti yang dilampirkan dalam pengajuan keberatan dan/atau diperoleh dalam pemeriksaan, mengakibatkan peningkatan jumlah BPHTB-nya.

Banding BPHTB
Ketentuan tentang banding menurut pasal 18 UU No. 20 Tahun 2000 adalah sebagai berikut:
1. Banding dapat diajukan kepada Badan Peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
2. Banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas dalam jangka waktu 3 bulan sejak keputusan keberatan diterima, dilampiri salinan surat keputusan keberatan.
3. Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.
Apabila putusan banding menerima sebagian atau seluruhnya, maka kelebihan pembayaran dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran BPHTB sampai dengan diterbitkannya Putusan Banding .
Pengurangan BPHTB
Pengurangan BPHTB dapat diberikan Wajib Pajak melalui permohonan karena:
1. Kondisi tertentu Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan Objek BPHTB. Contoh;
a) Wajib Pajak tidak mampu secara ekonomis yang memperoleh hak baru melalui program pemerintah di bidang pertanahan.
b) Wajib Pajak pribadi menerima hibah dari orang pribadi yang mempunyai hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah.
2. Kondisi Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan sebab-sebab tertentu, Contoh;
a) Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah melalui pembelian dari hasil ganti rugi pemerintah yang nilai ganti ruginya di bawah Nilai Jual Objek Pajak.
b) Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah sebagai pengganti atas tanah yang dibebaskan oleh pemerintah untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus.
c) Wajib Pajak yang terkena dampak krisis ekonomi dan moneter yang berdampak luas pada kehidupan perekonomian nasional sehingga Wajib Pajak harus melakukan restrukturisasi usaha dan atau utang usaha sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah.
3. Tanah dan atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial atau pendidikan yang semata-mata tidak untuk mencari keuntungan, contohnyaTanah dan atau bangunan yang digunakan, antara lain, untuk panti asuhan, panti jompo, rumah yatim piatu, pesantren, sekolah yang tidak ditujukan mencari keuntungan, rumah sakit swasta Institusi Pelayanan Sosial Masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

 Diana, Anastasia & Setiawati, Lilis, 2004, Perpajakan Indonesia, Yogyakarta: Andi.
 Mardiasmo, 2001, Perpajakan, Yogyakarta: Andi.
 Muljadi, Kartini & Widjaja Gunawan, 2007, Hak-Hak atas Tanah, Jakarta: Kencana.
 Santoso, Urip, 2007, Hukum Agraria dan Hak-Hak atas Tanah, Jakarta: Kencana.
 Siomin, Soedaryo, 201 Status Hak dan Pembebasan Tanah, Jakarta: Sinar Grafika.
 Supriadi, 2007, Hukum Agraria, Jakarta: Sinar Garafika.
 Tjahjono, Achmad, 2005, Perpajakan Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
 Waluyo, 2007, Perpajakan Indonesia, Jakarta: Salemba Empat.
 UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
 UU No. 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2000.

Kamis, 14 Januari 2010

Efektivitas Pengelolaan Zakat

EFEKTIFITAS PENGELOLAAN ZAKAT MELALUI ORGANISASI
(Study atas perbandingan antara angka pengelolaan dan angka penyaluran zakat)
By; Gustika Nurmalia

1. Latar Balakang
Allah berfirman di dalam al-Qur’an pada surat At-Taubah ayat 60 yang Artinya: ”Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Pada kesempatan lain Allah menyatakan bahwa “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Potensi zakat tanah air di atas kertas sangat besar. Potensi zakat yang dimiliki kaum muslim di tanah air adalah Rp6.5 triliyun per tahun. Angka ini belum termasuk infaq, shadaqah, dan wakaf. Jika dana-dana di luar zakat tersebut disertakan, maka kita akan mendapatkan jumlah yang lebih besar.
Tapi, angka-angka tersebut di atas baru sekadar potensi, belum menjadi kenyataan. Kenyataannya, saat ini baru terkumpul lebih kurang Rp 150 miliyar per tahun (angka ini berdasarkan data pengumpulan zakat oleh organisasi zakat, Badan Amil Zakat maupun Lembaga Amil Zakat). Data tersebut menunjukkan bahwa hanya 2.3% potensi zakat yang terealisasi. Mengapa bisa seperti itu? Salah satunya adalah faktor angka kemiskinan yang semakin meningkat dari hari-ke hari. Menurut data yang ada, angka kemiskinan saat ini mencapai 150 juta jiwa. Di sisi lain, kepercayaan muzakki yang rendah terhadap organisasi pengelola zakat yang ada.
Bicara tentang zakat, yang tidak boleh dilupakan dan merupakan hal yang paling penting adalah peran para amil zakat yang diberi amanah mengelola dana-dana yang terkumpul,baik dari zakat, infaq, shadaqah, ataupun wakaf. Baik atau tidaknya mustahiq yang lain tergantung pada amilnya. Dengan kata lain, hal terpenting dari zakat adalah bagaimana mengelolanya (manajemennya) dengan efektif agar fungsi zakat sebagai pengentas kemiskinan dapat dicapai. Baiknya manajemen suatu organisasi zakat harus dapat diukur. Tiga kata kunci untuk mengukur baik atau tidaknya manajemen sebuah organisasi zakat adalah amanah, profesionalitas (pengelolaan zakat menjadi lebih efektif dan efisien), dan transparan (trasparansi dengan para muzakki dan masyarakat luas dapat meminimalisir rasa curiga dan ketidakpercayaan masayarakat terhadap organisasi zakat).

Pembahasan tentang efektifitas organisasi pengelola zakat tidak hanya berbicara tentang bagaimana organisasi zakat bisa mengoptimalkan realisasi dari potensi zakat kaum muslimin di tanah air yang begitu besar. Di samping mengoptimalkan pemungutan zakat, organisasi zakat juga harus mengelola zakat seefektif mungkin agar jumlah zakat yang dikumpulkan sebanding dengan jumlah zakat yang tersalurkan. Jangan zampai ada penyelewengan dan kesalahan yang menyebabkan jumlah zakat yang akan disalurkan berkurang dari yang seharusnya.

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, akan diformulasikan masalah penelitian sebagai berikut:
Bagaimana alokasi dana muzaki oleh lembaga zakat?
3. Tujuan Dan Kegunaan
Penelitian ini bertujuan untuk:
• Melihat peran organisai zakat dalam masyarakat
• Menganalisis efektifitas kinerja organisasi pengelola zakat
• Menguji rasio dana pengelolaan terhadap dana yang disalurkan kepada para mustahiq zakat
Sasaran yang diharapkan melalui penelitian ini adalah:
• Kontribusi praktis bagi praktisi dalam mengelola zakat secara lebih efektif
• Tersedianya hasil penelitian mengenai strategi peningkatan efektifitas kinerja organisasi pengelola zakat

4. Tinjauan Pustaka
Dari literatur tentang zakat antara lain disebutkan bahwa zakat seharusnya dipungut oleh negara atau pemerintah sebagai pemegang otoritas. Dengan memanfaatkan otoritas yang dimilikinya, dalam rangka memaksimalkan pemungutan zakat negara mendirikan institusi amil dengan landasan hukum yang kuat. Keberadaan institusi ini akan memberikan kemudahan dalam mengetahui angka muzakki dan mustahiq yang ada sehingga penyaluran zakat tepat sasaran dapat diwujudkan. Langkah ini, kemudian juga diikuti oleh masyarakat dengan mendirikan organisasi zakat nonpemerintah dengan tujuan yang sama untuk memaksimalkan pengelolaan zakat. Sebagai sebuah organisasi, organisasi-organisasi zakat tersebut harus bekerja seefektif mungkin untuk bisa membantu orang-orang miskin.

Berbicara tentang kata efektif, berbagai literatur menyatakan efektifitas sebagai suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kualitas, kuantitas, dan waktu) telah tercapai. Yang mana, makin besar persentase target yang dicapai, makin tinggi efektifitasnya. Pendapat lain mengatakan bahwa efektifitas adalah pencapaian target output y6ang diukur dengan cara membandingkan outpun anggaran atau output yang seharusnya dengan output realisasi atau output yang sesungguhnya. Ada juga yang mendefinisikan sebagai tingkat kelekatan output yang dicapai dengan output yang diharapkan dari sejumlah input yang dimiliki.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut dapat dipahami bahwa efektifitas merupakan suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target yang mencakup kuantitas, kualitas, dan waktu yang telah dicapai oleh seseorang, di mana target tersebut sudah ditentukan terlebih dahulu.
Terminologi efektif dalam sebuah organisasi digunakan untuk menggambarkan seberapa jauh target meliputi kuantitas, kualitas, dan waktu yang telah dicapai oleh organisasi, di mana target tersebut telah ditetapkan terlebih dahulu. Efektifitas organisasi zakat merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk melihat seberapa besar peran zakat dalam mengentaskan kemiskinan. Jika organisasi tersebut bekerja dengan efektif, maka akan terdapat pengurangan angka kemiskinan di tanah air ini.

5. Landasan Teori
Upaya pengintegrasian zakat ke dalam kebijakan fiskal negara adalah dengan melakukan rekonstruksi sejarah terhadap pelaksanaan zakat pada masa awal Islam. Pada masa awal Islam, zakat merupakan ’pungutan’ wajib yang ditarik dari masyarakat untuk membiayai pengeluaran negara pada waktu itu. Dalam perkembangannya, zakat mengalami kestatisan karena terlanjur dibakukan sehingga tidak dapat beradaptasi dengan perkembangan perekonomian umat. Akibatnya, untuk pembiayaan kebutuhan negara ditariklah pajak dari masyarakat karena bersifat dinamis dan dapat diatur pelembagaannya oleh pemerintah sesuai dengan tujuan-tujuan pembangunan ekonomi yang telah disusun pemerintah. Pengembalian zakat ke khittah awalnya ini dapat dilakukan dengan keberanian merumuskan kembali konsep zakat dalam Islam.

Dengan terintegrasinya zakat ke dalam kebijakan fiskal tersebut, maka pemerintah dapat menetapkan kebijakan fiskal yang sama-sama menguntungkan, baik bagi umat Islam maupun bagi negara. Hal ini pada gilirannya akan menyebabkan pergeseran berbagai ketentuan dalam hukum zakat tradisional. Pengaruh kebijakan fiskal modern terhadap hukum zakat terjadi pada subyek dan obyek, tarif dan sasaran pendistribusian zakat. Subyek zakat dalam kebijakan fiskal juga termasuk badan hukum di samping perorangan. Sedangkan pengaruh kebijakan fiskal terhadap obyek zakat adalah bahwa jenis kekayaan yang dikeluarkan zakatnya tidak terbatas pada jenis-jenis harta yang telah ditentukan oleh Rasulullah Saw. dulu saja, tetapi juga meliputi berbagai jenis kekayaan lainnya menurut kebijakan pemerintah.
Pengaruh kebijakan fiskal lainnya adalah dalam hal tarif atau prosentase (rasio) dan nisab zakat menjadi tidak tetap (baku). Tarif yang ditetapkan mungkin saja berupa tarif proporsional, tarif agresif, dan trarif progresif sesuai dengan kebijakan fiskal yang akan dicapai oleh pemerintah. Sedangkan pengaruh terhadap sasaran pendistribusian zakat adalah perluasan makna asnaf delapan yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an surat al-Taubah ayat 60. Perluasan makna tersebut bertujuan untuk terpenuhinya pengeluaran pemerintah dalam rangka mencapai kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan fiskal pemerintah tersebut juga harus disertai dengan upaya optimalisasi pengelolaan zakat di tangan organisasi. Kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah sebagai regulator harusnya dijalankan dengan baik oleh organisasi karena dengan adanya organisasi, setiap hal yang berkaitan dengan zakat akan dapat dijangkau dengan tepat sehingga penyaluran zakat juga tepat sasaran.
Untuk mencapai tepat sasaran tersebut, organisasi zakat bekerja seefektif mungkin agar penyaluran zakat menjadi lebih maksimal. Salah satu hal yang dapat dijadikan indikator keefektifan organisasi tersebut adalah persentase penyaluran zakat yang lebih besar dibandingkan dengan angka dana yang digunakan untuk mengelola organisasi itu sendiri. Jika, dengan besarnya angka zakat yang terkumpul, dana untuk pengelolaan lebih besar daripada zakat yang tersalurkan kepada para mustahiq, maka bisa dikatakan organisasi zakat tidak lagi efektif untuk dijadikan sebagai solusi untuk memaksimalkan penyaluran zakat.

6. Metodologi Penelitian
a. Lokasi dan responden penelitian
Lokasi penelitian meliputi beberapa daerah di tanah air. Sementara responden penelitian merupakan para praktisi dan birokrat yang berwenang dalam hal organisasi pengelolaan zakat disetiap wilayah penelitian sehingga gambaran persepsi mereka dapat mewakili keadaan populasi pada umumnya. Responden penelitian di wilayah sampel terdiri dari:
• Aparatur pemerintah di Departemen Agama sebanyak .....
• Organisasi pengelola zakat di daerah sentra sebanyak.... yang terdiri dari BAZ dan LAZ
b. Variabel penelitian
Penelitian ini akan mengungkapkan persepsi para praktisi dan birokrat mengenai efektifitas pengelolaan zakat melalui organisasi zakat yang ada di tanah air. Untuk itu, variabel penelitian terdiri dari:
• Berbagai kegiatan organisasi zakat dalam pengelolaan zakat yang diterima dari muzakki
• Sentra, meliputi jumlah zakat yang terkumpul, dana pengelolaan, jumlah tenaga kerja, dan penyaluran zakat kepada para mustahiq

7. Daftar Pustaka
Muhammad Daud Ali. Sistem Ekonomi Islam: Zakat Dan Wakaf. Jakarta: UI Press, 1988
Kepres RI No. 8 Tahun 2001 Tentang Badan Amil Zakat, 17 Januari 2001
Beik, Irfan Syauqi. Kembali Pada Amil .http://www.pesantrenvirtual.com/index.php/ekonomi-syariah, diambil tanggal 18 April 2009
Khoiri, Nisful. Review Penyaluran Zakat 2008. http://www.medanbisnisonline.com, diambil tanggal 18 April 2009
Gautama, Bayu. Mampukah Zakat Berperan serta Membangun Bangsa?. http://www.mail-archive.com/daarut-tauhiid@yahoogroups.com, diambil tanggal 18 April 2009
Muhtada, Dani. Zakat Dan Keadilan Sosial. http://miias.org/zakat-dan-keadilan-sosial.jsp, diambil tanggal 18 April 2009

valuta asing menurut kacamata islam.

FOREX TRADING IN ISLAMIC VIEW
By
Muhammad Alfian & Gustika Nurmalia


A. ABSTRAK
There is a general consensus among Islamic jurists on the view that currencies of different countries can be exchanged on a spot basis at a rate different from unity, since currencies of different countries are distinct entities with different values or intrinsic worth, and purchasing power. There also seems to be a general agreement among a majority of scholars on the view that currency exchange on a forward basis is not permissible, that is, when the rights and obligations of both parties relate to a future date. However, there is considerable difference of opinion among jurists when the rights of either one of the parties, which is same as obligation of the counterparty, is deferred to a future date.
To elaborate, let us consider the example of two individuals A and B who belong to two different countries, India and US respectively. A intends to sell Indian rupees and buy U.S dollars. The converse is true for B. The rupee-dollar exchange rate agreed upon is 1:20 and the transaction involves buying and selling of $50. The first situation is that A makes a spot payment of Rs1000 to B and accepts payment of $50 from B. The transaction is settled on a spot basis from both ends. Such transactions are valid and Islamically permissible. There are no two opinions about the same. The second possibility is that settlement of the transaction from both ends is deferred to a future date, say after six months from now. This implies that both A and B would make and accept payment of Rs1000 or $50, as the case may be, after six months. The predominant view is that such a contract is not Islamically permissible. A minority view considers it permissible. The third scenario is that the transaction is partly settled from one end only. For example, A makes a payment of Rs1000 now to B in lieu of a promise by B to pay $50 to him after six months. Alternatively, A accepts $50 now from B and promises to pay Rs1000 to him after six months. There are diametrically opposite views on the permissibility of such contracts which amount to bai-salam in currencies. The purpose of this paper is to present a comprehensive analysis of various arguments in support and against the permissibility of these basic contracts involving currencies. The first form of contracting involving exchange of countervalues on a spot basis is beyond any kind of controversy. Permissibility or otherwise of the second type of contract in which delivery of one of the countervalues is deferred to a future date, is generally discussed in the framework of riba prohibition. Accordingly we discuss this contract in detail in section 2 dealing with the issue of prohibition of riba. Permissibility of the third form of contract in which delivery of both the countervalues is deferred, is generally discussed within the framework of reducing risk and uncertainty or gharar involved in such contracts.

B. PENDAHULUAN
Ada konsensus umum di kalangan ahli hukum Islam pada pandangan bahwa mata uang dari negara yang berbeda dapat dipertukarkan pada suatu titik dasar pada tingkat berbeda dari kesatuan, karena mata uang dari berbagai negara adalah entitas yang berbeda dengan nilai-nilai berbeda atau nilai intrinsik, dan daya beli. Ada juga tampaknya menjadi kesepakatan umum di antara mayoritas ulama pada pandangan bahwa pada pertukaran mata uang dasar ke depan tidak boleh, yaitu ketika hak dan kewajiban kedua belah pihak terkait dengan masa mendatang. Namun, terdapat banyak perbedaan pendapat di antara para ahli hukum ketika hak-hak salah satu pihak, yang sama dengan kewajiban rekanan, ditangguhkan untuk masa mendatang.
Forex merupakan suatu jenis perdagangan atau transaksi yang memperdagangkan mata uang suatu negara terhadap mata uang negara lainnya (pasangan mata uang/pair) yang melibatkan pasar-pasar uang utama di dunia selama 24 jam secara berkesinambungan.
Akibat pergerakan yang cepat tersebut, maka trading valas/forex trading juga beresiko tinggi apabila anda tidak mempunyai pengetahuan yang cukup serta pengaturan manajemen keuangan dengan baik. Investasi perdagangan valas (forex trading) online, memberikan alternatif income yang menjanjikan.



C. RUMUSAN MASALAH
Menurut survei BIS (Bank International for Settlement – bank sentral dunia),yang dilakukan pada akhir tahun 2004, nilai transaksi pasar valuta asing mencapai lebih dari USD$1,4 triliun per harinya. Dengan demikian, prospek investasi di perdagangan valuta asing adalah sangat bagus. Mengingat tingkat likuiditas dan percepatan pergerakan harga yang tinggi tersebut, valuta asing juga telah menjadi alternatif yang paling populer karena ROI (return on investment atau kembalinya nilai investasi yang telah kita tanam) serta profit yang akan didapat bisa melebihi rata-rata perdagangan pada umumnya (biasanya rata-rata return berkisar lebih dari 5% - 10% per bulannya, bahkan bisa mencapai lebih dari 100% per bulannya untuk profesional trader).
Banyak situs-situs investasi di internet yang menawarkan pengembalian yang heboh, dari return 20% sampai 35% perbulan. Masalahnya sekarang, apakah model bisnis dan perjanjian seperti itu adalah halal? Hal ini tampaknya juga sudah mulai ramai dibahas di internet. Bahkan yang paling ramai adalah dari negeri Malaysia. Beragam fatwa dan ijtihad telah dikemukakan oleh ahli dan pakar dibidang fikih. Bahkan para ekonom dan intelektual juga ikut memberi fatwa. Tapi terkadang fatwa – fatwa tersebut masih membingungkan.
Dengan banyaknya fatwa dan pendapat ulama, maka tidak heran jika hingga saat ini masih ada sebagian umat islam yang meragukan kehalalan praktik pedagangan berjangka. Bagaimana menurut pendapat para pakar islam? Apa pendapat para ulama tentang treding forex? Apakah di perbolehkan dalam islam perdagangan berjangka komoditi (PBK)? Dan apakah hukum Forex Trading halal menurut hukum islam? Oleh karena itu, Untuk mengetahui jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut maka dalam pembahasan berikutnya penulis akan menguraikan lebih terperinci tentang Forex dan bagaiamana pendapat para ulama tentang kedudukan forex menurut kaca mata islam?

D. PEMBAHASAN
Dalam bukunya Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi yang berjudul Masail Fiqiyyah; Kapita Selecta Hukum Islam, diperoleh bahwa Forex (Perdagangan Valas) diperbolehkan dalam hukum islam.
Perdagangan valuta asing timbul karena adanya perdagangan barang-barang kebutuhan/komoditi antar negara yang bersifat internasional. Perdagangan (Ekspor-Impor) ini tentu memerlukan alat bayar yaitu uang yang masing-masing negara mempunyai ketentuan sendiri dan berbeda satu sama lainnya sesuai dengan penawaran dan permintaan diantara negara-negara tersebut sehingga timbul Perbandingan Nilai Mata Uang antar negara.
Perbandingan nilai mata uang antar negara terkumpul dalam suatu bursa atau pasar yang bersifat internasional dan terikat dalam suatu kesepakatan bersama yang saling menguntungkan. Nilai mata uang suatu negara dengan negara lainnya ini berubah (berfluktuasi) setiap saat sesuai volume permintaan dan penawarannya. Adanya permintaan dan penawaran inilah yang menimbulkan transaksi mata uang. Yang secara nyata hanyalah tukar-menukar mata uang yang berbeda nilai.
Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan bahwa jual beli mata uang atau pertukaran mata uang merupakan transaksi jual beli dalam bentuk finansial yang menurutnya mencakup:
1) Pembelian mata uang dengan mata uang yang serupa seperti pertukaran uang kertas danar baru Irak dengan kertas dinar lama.
2) Pertukaran mata uang dengan mata uang asing seperti pertukaran dalar dengan Pound Mesir.
3) Pembelian barang dengan uang tertentu serta pembelian mata uang tersebut dengan mata uang asing seperti membeli pesawat dengan dolar, serta pertukaran dolar dengan dinar Irak dalam suatu kesepakatan.
4) Penjualan barang dengan mata uang, misalnya dengan dolar Australia serta pertukaran dolar dengan dolar Australia.
5) Penjualan promis (surat perjanjian untuk membayar sejumlah uang) dengan mata uang tertentu.
6) Penjualan saham dalam perseroan tertentu dengan mata uang tertentu.
Praktek valuta asing hanya terjadi dalam transaksi jual beli, di mana praktek ini diperbolehkan dam Islam berdasarkan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 275: “Dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”. Di samping firman Allah di atas, hadis Rasulullah juga mengatakan bahwa: “Janganlah engkau menjual emas dengan emas, kecuali seimbang,dan jangan pula menjual perak dengan perak kecuali seimbang. Juallah emas dengan perak atau perak dengan emas sesuka kalian”. (HR. Bukhari). “Nabi melarang menjual perak dengan perak, emas dengan emas, kecuali seimbang. Dan Nabi memerintahkan untuk menjual emas dengann perak sesuka kami, dan menjual perak dengan emas sesuka kami”.
“Kami telah diperintahkan untuk membeli perak dengan emas sesuka kami dan membeli emas dengan perak sesuka kami. Abu Bakrah berkata: beliau (Rasulullah) ditanya oleh seorang laki-laki, lalu beliau menjawab, Harus tunai (cash). Kemudian Abi Bakrah berkata, Demikianlah yang aku dengar”.
Dari beberapa Hadist di atas dipahami bahwa hadist pertama dan kedua merupakan dalil tentang diperbolehkannya valuta asing serta tidak boleh adanya penambahan antara suatu barang yang sejenis (emas dengan emas atau perak dengan perak), karena kelebihan antara dua barang yang sejenis tersebut merupakan riba al-fadl yang jelas-jelas dilarang oleh Islam. Sedangkan hadist ketiga, selain bisa dijadikan dasar diperbolehkannya valuta asing, juga mengisyaratkan bahwa kegiatan jual beli tersebut harus dalam bentuk tunai, yaitu untuk menghindari terjadinya riba nasi’ah.
Hukum Islam dalam Transaksi Valas
1. Ada Ijab-Qobul: —> Ada perjanjian untuk memberi dan menerimaPenjual
• menyerahkan barang dan pembeli membayar tunai.
• Ijab-Qobulnya dilakukan dengan lisan, tulisan dan utusan.
• Pembeli dan penjual mempunyai wewenang penuh melaksanakan dan melakukan tindakan-tindakan hukum (dewasa dan berpikiran sehat)
2. Memenuhi syarat menjadi objek transaksi jual-beli yaitu:
• Suci barangnya (bukan najis)
• Dapat dimanfaatkan
• Dapat diserahterimakan
• Jelas barang dan harganya
• Dijual (dibeli) oleh pemiliknya sendiri atau kuasanya atas izin pemiliknya
• Barang sudah berada ditangannya jika barangnya diperoleh dengan imbalan.
Perlu ditambahkan pendapat Muhammad Isa, bahwa jual beli saham itu diperbolehkan dalam agama. ”Jangan kamu membeli ikan dalam air, karena sesungguhnya jual beli yang demikian itu mengandung penipuan”. (Hadis Ahmad bin Hambal dan Al Baihaqi dari Ibnu Mas’ud). Jual beli barang yang tidak di tempat transaksi diperbolehkan dengan syarat harus diterangkan sifat-sifatnya atau ciri-cirinya. Kemudian jika barang sesuai dengan keterangan penjual, maka sahlah jual belinya. Tetapi jika tidak sesuai maka pembeli mempunyai hak khiyar, artinya boleh meneruskan atau membatalkan jual belinya. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi riwayat Al Daraquthni dari Abu Hurairah:”Barang siapa yang membeli sesuatu yang ia tidak melihatnya, maka ia berhak khiyar jika ia telah melihatnya”.
Jual beli hasil tanam yang masih terpendam, seperti ketela, kentang, bawang dan sebagainya juga diperbolehkan, asal diberi contohnya, karena akan mengalami kesulitan atau kerugian jika harus mengeluarkan semua hasil tanaman yang terpendam untuk dijual. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Islam yaitu Kesulitan itu menarik kemudahan. Demikian juga jual beli barang-barang yang telah terbungkus/tertutup, seperti makanan kalengan, LPG, dan sebagainya, asalkam diberi label yang menerangkan isinya. Vide Sabiq, op. cit. hal. 135. Mengenai teks kaidah hukum Islam tersebut di atas, vide Al Suyuthi, Al Ashbah wa al Nadzair, Mesir, Mustafa Muhammad, 1936 hal. 55.
Jual Beli Valuta Asing, Yang dimaksud dengan valuta asing adalah mata uang luar negeri seperti dolar Amerika, Poundsterling Inggris, Euro, dollar Australia, Ringgit Malaysia dan sebagainya. Apabila antara negara terjadi perdagangan internasional maka tiap negara membutuhkan valuta asing sebagai alat pembayaran luar negeri yang dalam dunia perdagangan disebut devisa. Misalnya eksportir Indonesia akan memperoleh devisa dari hasil ekspornya, sebaliknya importir Indonesia memerlukan devisa untuk mengimpor dari luar negeri. Dengan demikian akan timbul penawaran dan permintaan di bursa valuta asing. setiap negara berwenang penuh menetapkan kurs uangnya masing-masing (kurs adalah perbandingan nilai uangnya terhadap mata uang asing) misalnya 1 dolar Amerika = Rp. 9.325. Namun kurs uang atau perbandingan nilai tukar setiap saat bisa berubah-ubah, tergantung pada kekuatan ekonomi negara masing-masing. Pencatatan kurs uang dan transaksi jual beli valuta asing diselenggarakan di Bursa Valuta Asing.
“Jangan engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu,” sabda Nabi Muhammad SAW, dalam sebuah hadits riwayat Abu Hurairah. Oleh sebagian fuqaha (ahli fiqih Islam), hadits tersebut ditafsirkan secara saklek. Pokoknya, setiap praktik jual beli yang tidak ada barangnya pada waktu akad, haram. Penafsiran secara demikian itu, tak pelak lagi, membuat fiqih Islam sulit untuk memenuhi tuntutan jaman yang terus berkembang dengan perubahan-perubahannya.
Karena itu, sejumlah ulama klasik yang terkenal dengan pemikiran cemerlangnya, menentang cara penafsiran yang terkesan sempit tersebut. Misalnya, Ibn al-Qayyim. Ulama bermazhab Hambali ini berpendapat, bahwa tidak benar jual-beli barang yang tidak ada dilarang. Baik dalam Al Qur’an,sunnah maupun fatwa para sahabat, larangan itu tidak ada.
Dalam Sunnah Nabi, hanya terdapat larangan menjual barang yang belum ada, sebagaimana larangan beberapa barang yang sudah ada pada waktu akad. “Causa legis atau ilat larangan tersebut bukan ada atau tidak adanya barang, melainkan garar,” ujar Dr. Syamsul Anwar, MA dari IAIN SUKA Yogyakarta menjelaskan pendapat Ibn al-Qayyim. Garar adalah ketidakpastian tentang apakah barang yang diperjual-belikan itu dapat diserahkan atau tidak. Misalnya, seseorang menjual unta yang hilang. Atau menjual barang milik orang lain, padahal tidak diberi kewenangan oleh yang bersangkutan.
Jadi, meskipun pada waktu akad barangnya tidak ada, namun ada kepastian diadakan pada waktu diperlukan sehingga bisa diserahkan kepada pembeli, maka jual beli tersebut sah. Sebaliknya, kendati barangnya sudah ada tapi – karena satu dan lain hal — tidak mungkin diserahkan kepada pembeli, maka jual beli itu tidak sah.
Perdagangan berjangka, jelas, bukan garar. Sebab, dalam kontrak berjangkanya, jenis komoditi yang dijual-belikan sudah ditentukan. Begitu juga dengan jumlah, mutu, tempat dan waktu penyerahannya. Semuanya berjalan di atas rel aturan resmi yang ketat, sebagai antisipasi terjadinya praktek penyimpangan berupa penipuan — satu hal yang sebetulnya bisa juga terjadi pada praktik jua-beli konvensional. Dalam perspektif hukum Islam, Perdagangan Berjangka Komoditi (PBK) (forex adalah bagian dari PBK) dapat dimasukkan ke dalam kategori almasa’il almu’ashirah atau masalah-masalah hukum Islam kontemporer. Karena itu, status hukumnya dapat dikategorikan kepada masalah ijtihadiyyah. Klasifikasi ijtihadiyyah masuk ke dalam wilayah fi ma la nasha fih, yakni masalah hukum yang tidak mempunyai referensi nash hukum yang pasti.Dalam kategori masalah hukum al-Sahrastani, ia termasuk ke dalam paradigma al-nushush qad intahat wa al-waqa’I la tatanahi. Artinya, nash hukum dalam bentuk Al-Quran dan Sunnah sudah selesai; tidak lagi ada tambahan. Dengan demikian, kasus-kasus hukum yang baru muncul mesti diberikan kepastian hukumnya melalui ijtihad.
Dalam kasus hukum PBK, ijtihad dapat merujuk kepada teori perubahan hukum yang diperkenalkan oleh Ibn Qoyyim al-Jauziyyah. Ia menjelaskan, fatwa hukum dapat berubah karena beberapa variabel perubahnya, yakni: waktu, tempat, niat, tujuan dan manfaat. Teori perubahan hukum ini diturunkan dari paradigma ilmu hukum dari gurunya Ibn Taimiyyah, yang menyatakan bahwa a-haqiqah fi al-a’yan la fi al-adzhan. Artinya, kebenaran hukum itu dijumpai dalam kenyataan empirik; bukan dalam alam pemikiran atau alam idea. Paradigma ini diturunkan dari prinsip hukum Islam tentang keadilan yang dalam Al Quran digunakan istilah al-mizan, a-qisth, al-wasth, dan al-adl.
Dalam penerapannya, secara khusus masalah PBK dapat dimasukkan ke dalam bidang kajian fiqh al-siyasah maliyyah, yakni politik hukum kebendaan. Dengan kata lain, PBK termasuk kajian hukum Islam dalam pengertian bagaimana hukum Islam diterapkan dalam masalah kepemilikan atas harta benda, melalui perdagangan berjangka komoditi dalam era globalisasi dan perdagangan bebas.
Realisasi yang paling mungkin dalam rangka melindungi pelaku dan pihak-pihak yang terlibat dalam perdagangan berjangka komoditi dalam ruang dan waktu serta pertimbangan tujuan dan manfaatnya dewasa ini, sejalan dengan semangat dan bunyi UU No. 32/1977 tentang PBK. Karena teori perubahan hukum seperti dijelaskan di atas, dapat menunjukkan elastisitas hukum Islam dalam kelembagaan dan praktek perekonomian, maka PBK dalam sistem hukum Islam dapat dianalogikan dengan bay’ al-salam’ajl bi’ajil.
Bay’ al-salam dapat diartikan sebagai berikut. Al-salam atau al-salaf adalah bay’ ajl bi’ajil, yakni memperjualbelikan sesuatu yang dengan ketentuan sifat-sifatnya yang terjamin kebenarannya. Di dalam transaksi demikian, penyerahan ra’s al-mal dalam bentuk uang sebagai nilai tukar didahulukan daripada penyerahan komoditi yang dimaksud dalam transaksi itu. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mendefinisikannya dengan: “Akad atas komoditas jual beli yang diberi sifat terjamin yang ditangguhkan (berjangka) dengan harga jual yang ditetapkan di dalam bursa akad”.

Merujuk pada fatwa DSN Majelis Ulama Indonesia mereka mengeluarkan ijtihad kolektif sebagai berikut:
Dewan Syariah Nasional Menetapkan : FATWA TENTANG JUAL BELI MATA UANG (AL-SHARF).
Pertama : Ketentuan UmumTransaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut:
a) Tidak Untuk spekulasi (ntung-untungan).b. da kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan).
b) Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uangsejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai(at-taqabudh).
c) Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengannilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dan secara tunai.
Kedua : Jenis-jenis transaksi Valuta Asing
a. Transaksi SPOT, yaitu transaksi pembelian danpenjualan valuta asing untuk penyerahan pada saat itu(over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh,karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari dan merupakan transaksi internasional.
b. Transaksi FORWARD, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2x24 jam sampai dengan satu tahun.Hukumnya adalah haram, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwaadah) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk forward agreement untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil hajah).
c. Transaksi SWAP yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga forward. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi).
d. Transaksi OPTION yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung unusru maisir (spekulasi).
Ketiga : Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari trnyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Pendapat yang mengatakan forex adalah halal karena dianalogikan dengan Perdagangan Komoditas Berjangka yang ada perjanjian jelasnya.
Ijtihad oleh Prof. Dr. Juhaya S. Praja Dalam perspektif hukum Islam, Perdagangan Berjangka Komoditi (PBK) dapat dimasukkan ke dalam kategori almasa’il almu’ashirah atau masalah-masalah hukum Islam kontemporer. Karena itu, status hukumnya dapat dikategorikan kepada masalah ijtihadiyyah. Klasifikasi ijtihadiyyah masuk ke dalam wilayah fi ma la nasha fih, yakni masalah hukum yang tidak mempunyai referensi nash hukum yang pasti. Dalam kategori masalah hukum al-Sahrastani, ia termasuk ke dalam paradigma al-nushush qad intahat wa al-waqa’I la tatanahi. Artinya, nash hukum dalam bentuk Al-Quran dan Sunnah sudah selesai; tidak lagi ada tambahan. Dengan demikian, kasus-kasus hukum yang baru muncul mesti diberikan kepastian hukumnya melalui ijtihad.
Dalam kasus hukum PBK, ijtihad dapat merujuk kepada teori perubahan hukum yang diperkenalkan oleh Ibn Qoyyim al-Jauziyyah. Ia menjelaskan, fatwa hukum dapat berubah karena beberapa variabel perubahnya, yakni: waktu, tempat, niat, tujuan dan manfaat. Teori perubahan hukum ini diturunkan dari paradigma ilmu hukum dari gurunya Ibn Taimiyyah, yang menyatakan bahwa a-haqiqah fi al-a’yan la fi al-adzhan. Artinya, kebenaran hukum itu dijumpai dalam kenyataan empirik; bukan dalam alam pemikiran atau alam idea. Paradigma ini diturunkan dari prinsip hukum Islam tentang keadilan yang dalam Al Quran digunakan istilah al-mizan, a-qisth, al-wasth, dan al-adl.
Dalam penerapannya, secara khusus masalah PBK dapat dimasukkan ke dalam bidang kajian fiqh al-siyasah maliyyah, yakni politik hukum kebendaan. Dengan kata lain, PBK termasuk kajian hukum Islam dalam pengertian bagaimana hukum Islam diterapkan dalam masalah kepemilikan atas harta benda, melalui perdagangan berjangka komoditi dalam era globalisasi dan perdagangan bebas. Realisasi yang paling mungkin dalam rangka melindungi pelaku dan pihak-pihak yang terlibat dalam perdagangan berjangka komoditi dalam ruang dan waktu serta pertimbangan tujuan dan manfaatnya dewasa ini, sejalan dengan semangat dan bunyi UU No. 32/1977 tentang PBK. Karena teori perubahan hukum seperti dijelaskan di atas, dapat menunjukkan elastisitas hukum Islam dalam kelembagaan dan praktek perekonomian, maka PBK dalam sistem hukum Islam dapat dianalogikan dengan bay’ al-salam’ajl bi’ajil. Al-salam atau al-salaf adalah bay’ ajl bi’ajil, yakni memperjualbelikan sesuatu yang dengan ketentuan sifat-sifatnya yang terjamin kebenarannya.
Di dalam transaksi demikian, penyerahan ra’s al-mal dalam bentuk uang sebagai nilai tukar didahulukan daripada penyerahan komoditi yang dimaksud dalam transaksi itu. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mendefinisikannya dengan: “Akad atas komoditas jual beli yang diberi sifat terjamin yang ditangguhkan (berjangka) dengan harga jual yang ditetapkan di dalam bursa akad”. Keabsahan transaksi jual beli berjangka, ditentukan oleh terpenuhinya rukun dan syarat sebagai berikut:
1. Rukun sebagai unsur-unsur utama yang harus ada dalam suatu peristiwa transaksi Unsur-unsur utama di dalam bay’ al-salam adalah:
• Pihak-pihak pelaku transaksi (‘aqid) yang disebut dengan istilah muslim atau muslim ilaih.
• Objek transaksi (ma’qud alaih), yaitu barang-barang komoditi berjangka dan harga tukar (ra’s al-mal al-salam dan al-muslim fih).
• Kalimat transaksi (Sighat ‘aqad), yaitu ijab dan kabul. Yang perlu diperhatikan dari unsur-unsur tersebut, adalah bahwa ijab dan qabul dinyatakan dalam bahasa dan kalimat yang jelas menunjukkan transaksi berjangka. Karena itu, ulama Syafi’iyah menekankan penggunaan istilah al-salam atau al-salaf di dalam kalimat-kalimat transaksi itu, dengan alasan bahwa ‘aqd al-salam adalah bay’ al-ma’dum dengan sifat dan cara berbeda dari akad jual dan beli (buy).
2. Syarat-syarat
• Persyaratan menyangkut objek transaksi, adalah: bahwa objek transaksi harus memenuhi kejelasan mengenai: jenisnya (an yakun fi jinsin ma’lumin), sifatnya, ukuran (kadar), jangka penyerahan, harga tukar, tempat penyerahan.
• Persyaratan yang harus dipenuhi oleh harga tukar (al-tsaman), adalah, Pertama, kejelasan jenis alat tukar, yaitu dirham, dinar, rupiah atau dolar dsb atau barang-barang yang dapat ditimbang, disukat, dsb. Kedua, kejelasan jenis alat tukar apakah rupiah, dolar Amerika, dolar Singapura, dst. Apakah timbangan yang disepakati dalam bentuk kilogram, pond, dst.
• Kejelasan tentang kualitas objek transaksi, apakah kualitas istimewa, baik sedang atau buruk. Syarat-syarat di atas ditetapkan dengan maksud menghilangkan jahalah fi al-’aqd atau alasan ketidaktahuan kondisi-kondisi barang pada saat transaksi. Sebab hal ini akan mengakibatkan terjadinya perselisihan di antara pelaku transaksi, yang akan merusak nilai transaksi.
• Kejelasan jumlah harga tukar. Penjelasan singkat di atas nampaknya telah dapat memberikan kejelasan kebolehan PBK. Kalaupun dalam pelaksanaannya masih ada pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan peraturan perundang-undangan yang ada, maka dapatlah digunakan kaidah hukum atau legal maxim yang berbunyi: ma la yudrak kulluh la yutrak kulluh. Apa yang tidak dapat dilaksanakan semuanya, maka tidak perlu ditinggalkan keseluruhannya.

E. KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa jual beli mata uang (valuta asing) harus dilakukan sama-sama tunai serta tidak melebihkan antara suatu barang dengan barang yang lain dalam mata uang yang sejenis. Begitu juga pertukaran antara dua jenis mata uang yang berbeda, hukumnya mubah. Bahkan tidak ada syarat harus sama atau saling melebihkan, namun hanya disyaratkan tunai dan barangnya sama-sama ada.
Hukum dan pelaksanaan PBK sampai batas-batas tertentu boleh dinyatakan dapat diterima atau setidak-tidaknya sesuai dengan semangat dan jiwa norma hukum Islam, dengan menganalogikan kepada bay’ al-salam.
Untuk itu kami mengambil pendapat dari fatwa MUI yang tidak menghalalkan secara menyeluruh terhadap transaksi forex, karena didukung oleh banyak ijtihad ulama dan bukan merupakan ijtihad solo, tapi ijtihad kolektif ulama. Ulama adalah pewaris Kenabian, jika tidak menemukan solusi permasalahan bertanyalah pada mereka yang benar – benar Arif. wallahua'lam...

Referensi
1. http://www.wikamaha.com/apakah-hukum-forex-trading-valas-halal-menurut-hukum-islam.html, 2 jan 2010, 14.00
2. http://www.pengusahamuslim.com/fatwa-perdagangan/tanya-jawab/449-hukum-bisnis-forex-online.html , 2 Jan 2010, 14.15
3. http://forexsyariah.blogspot.com/2007/12/forex-dalam-hukum-islam.html 2 Jan 2010, 14.16
4. http://www.forexindo.com/forum/diskusi-pemula/169-forex-trading-menurut-pandangan-hukum-islam.html , 2 Jan 2010, 14.18
5. http://de-kill.blogspot.com/2009/01/valuta-asing-dalam-pandangan-islam.html, 3 Jan 2010, 07.00